Ishari, seni hadrah populer dengan nama terbangan (karena menggunakan alat musik rebana/terbang) sambil mendendangkan shalawat. Lantunan shalawat diiringi irama rebana yang dikenal dengan seni hadrah itu telah membudaya pada masyarakat islam nusantara jauh sebelum kemerdekaan negeri ini.
Lantunan shalawat itu bukan hanya sekadar shalawatan. Tetapi lebih dari itu, shalawat hadrah bermula dari sebuah amaliyah Thariqah Mahabbaturrasul dengan menyenandungkan maulid syaraful anam dan syair-syair Diwan Hadrah. Diajarkan pertama kali oleh Habib Syeh Botoputih Surabaya, seorang ulama sekaligus mursyid tarekat pada tahun 1830 yang kemudian populer di kalangan para santrinya dan masyarakat dengan nama Hadrahan atau Terbangan. Secara turun-temurun kegiatan hadrahan ini ditradisikan oleh murid-murid para mursyid tarekat Mahabbaturrasul dan menjadi seni tradisi masyarakat muslim Jawa. Pada tahun 1918 selawat Hadrah ini dikembangkan kembali oleh KH Abdurrahim bin Abdul Hadi di Pasuruan. Dari sinilah lahirlah kelompok-kelompok hadrah yang didirikan oleh para santrinya yang menjadikan shalawatan Hadrah ini dikenal dengan Hadrah Durahiman.
Pada masa penjajahan, di mana kebebasan berkumpul masyarakat pribumi itu diawasi ketat, kegiatan kesenian hadrah berperan penting dalam aktivitas konsolidasi para ulama yang membahas masalah-masalah keumatan, karena izin yang diberikan oleh pemerintahan penjajah untuk mengadakan kesenian hadrah ini dimanfaatkan untuk musyawarah para ulama.
Setelah masa kemerdekaan, ketika gerakan penyebaran paham komunisme berkembang pesat, termasuk penyebaran melalui media kesenian dan budaya, maka atas inisiatif KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) yang saat itu menjadi Rais Aam PBNU, kelompok-kelompok hadrah yang sudah eksis melaksanakan pembacaan shalawat hadrah itu diorganisir untuk menandingi kelompok-kelompok kesenian dan budaya milik PKI. Pada tahun 1959 berdirilah organisasi Ishari (Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia) yang berkantor pusat di Surabaya. Melalui kegiatan-kegiatan Ishari inilah upaya perlawanan budaya terhadap komunisme dilakukan oleh para ulama sekaligus untuk membentengi masyarakat santri dari pengaruh komunisme yang disebarkan oleh PKI. Pada tahun 1961, atas usulan ulama dan masyayikh serta atas perintah KH Wahab Chasbullah, mengusulkan bahwa Ishari menjadi badan otonom NU. Setelah menjadi badan otonom NU, Ishari menjadi terstruktur. Kepengurusan juga berjenjang mulai dari pusat, wilayah, cabang, anak cabang, ranting, serta anak ranting.
Perlawanan terhadap komunisme di antaranya dilakukan melalui jalur budaya dengan seni Hadrah Ishari. Hal ini juga membuktikan bahwa persetujuan Kiai Wahab Chasbullah atas konsep Nasakomnya Bung Karno itu adalah strategi cerdas beliau untuk menghambat PKI dalam melancarkan misi politiknya. Seni Hadrah Ishari adalah kesenian Islami kekayaan Indonesia yang telah menjadi bagian sejarah masyarakat santri menghadapi penjajahan dan juga komunisme. Seni Hadrah Ishari adalah warisan budaya Islam Nusantara. Majelis dalam Ishari ada dua yaitu Majelis Hadi dan Tanfidziyah. Keberadaan ISHARI tak lepas dari perubahan pada Muktamar ke-30 NU tahun 1999 di Lirboyo, Kediri. Saat itu Ishari masuk ke pembinaan Lembaga Seni dan Budaya NU (LSBNU).
sumber: NU Online
